( oleh BJP. Dr. Bambang Usadi, MM)
Tekanan publik yang luar biasa terhadap suatu perkara yang belum
disidangkan,normalnya memberikan tekanan psikologis yang kuat kepada
siapapun hakim yang ditunjuk untuk memeriksa dan mengadili perkara
yang dimohonkan Komjen BG. Kebetulan tugas tersebut disematkan di
pundak Hakim Sarpin, seorang hakim senior yang sudah terbukti beberapa
kali memberikan vonis yang berlawanan dengan ekspektasi, isu dan
tekanan publik, termasuk tekanan media, aktivis anti korupsi dan pakar
hukum, dengan hanya menyandarkan dan berpegang teguh pada keyakinannya
sebagai seorang hakim profesional dalam memutus suatu perkara, tanpa
Keteguhan dan ketenangan Hakim Sarpin juga terlihat manakala dalam
proses pemeriksaan saksi-saksi, termasuk saksi ahli berkenan
mendengarkan dengan seksama, meluruskan dan mengarahkan pertanyaan dan
jawaban dengan sabar dan hati-hatidari kedua belah pihak agar tidak
keluar konteks. Hakim Sarpin tetap cermat mengajukan berbagai
pertanyaan dan menggali jawaban yang dapat digunakan dalam membangun
konstruksi hukum yang tepat dan cermat, meskipun di bawah tekanan
tayangan seluruh media secara live dan pengawasan KY secara langsung.
Komentar dan tekanan dari berbagai pihak tidak mampu memalingkan
obyektivitas dan keberanian hakim Sarpin dalam memberikan putusan
seadil-adilnya, demi tegaknya keadilan substansial yang
dicita-citakan. Hakim Sarpin telah secara cermat menggunakan
kewenangan yang diberikan pasal 5 ayat (1) dan pasal 10 ayat (1) UU No
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di tengah kontroversi
tentang berbagai pendapat yang menekankan limitasi kewenangan pra
peradilan untuk memeriksa dan mengadili penetapan tersangka. Hakim
Sarpin secara tegar dan bertanggung jawab meyakini putusannya, bahwa
penetapan tersangka dapat diperiksa dan diadili di lembaga pra
peradilan setelah memeriksa dan membuktikan dengan keyakinannya bahwa
terdapat kesewenang-wenangan penegak hukum/penyidik KPK dengan
memeriksa perkara di luar kewenangannya dan ketidakbersediaan KPK
menghadirkan alat bukti yang cukup sebagaimana dipersyaratkan KUHAP.
Dimana KPK dan beberapa pakar Hukum menyatakan pra peradilan tidak
berwenang memeriksa pokok perkara. Seharusnya dipahami bahwa di dunia
ini, tidak jarang terjadi irisan dan persinggungan yang menyebabkan
batasan menjadi kabur, yang terpenting adalah pemeriksaan pokok
perkara bukan ditujukan untuk mengadili pokok perkara, tetapi
ditujukan untuk membuktikan ada tidaknya kesewenang-wenangan penegak
hukum dalam penetapan tersangka.
Putusan Hakim Sarpin tentu relevan karena hakim telah nyata dan mampu
membuktikan adanya kesewenang-wenangan penyidik, sehingga hakim
menggunakan kewenangan yang diberikan pasal 10 ayat 1 UU No 48 Tahun
2009: "Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Hal yang sama juga sebenarnya sudah biasa dilakukan dan biasa kita
saksikan sehari-hari di jalan raya, misalnya petugas Kepolisian
membuka jalur alternatif yang sudah ada rambu pelarangannya (sengaja
untuk dilanggar) karena melihat fakta terjadi kecelakaan atau
kemacetan di depan. Kesengajaan ini didasarkan pada kewenangan yang
dimiliki setiap pejabat Kepolisian untuk melakukan diskresi sesuai
dengan pasal 18 ayat (1) UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Kedua kasus tersebut sama dan dapat dianalogikan
satu sama lain, karena keduanya memiliki kewenangan yang diberikan UU.
Hakim diberikan kewenangan oleh UU No 48 Tahun 2009, Polisi diberikan
kewenangan UU No 2 Tahun 2002.
Pada putusan Hakim Sarpin di PN Jakarta Selatan bahkan tidak
se-ekstrim diskresi polisi di jalan raya, karena polisi di jalan raya
nyata melanggar aturan tanpa tafsir sedikitpun, sedangkan Hakim Sarpin
berangkat dari semangat dan tujuan pra peradilan itu sendiri (tafsir
teleologis) yakni "setiap kesewenang-wenangan penegak hukum dapat
diadili, dan untuk memberikan keadilan terhadap kesewenang-wenangan
oleh penegak hukum, yang paling dekat adalah pra peradilan.
Pada kondisi normal polisi tidak melakukan diskresi yang diberikan
pasal 18 ayat 1 UU No 2 Tahun 2002, demikian juga hakim tentu saja
tidak akan menggunakan kewenangan pasal 10 ayat 1 UU No 48 Tahun 2009,
misalnya dalam perkara yang tidak ditemukan pelanggaran
kesewenang-wenangan penyidik pada sidang pra peradilan, sebagaimana
pra peradilan di PN Purwokerto.Kuasa hukum tersangka, Djoko Susanto
yang mengajukan permohonan pra peradian di PN Purwokerto memberikan
keterangan bahwa tersangka, Mukti Ali bukan pejabat negara jika
merujuk ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yang
diperbarui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001".
Namun apabila merujukpasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tipikor:“Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah)”.Pasal 2 UU No 31 Tahun 1999 tentang Tipikor tersebut
menegaskan bahwa pelaku tindak pidana korupsi bukan hanya pejabat
negara, tetapi setiap orang/pihak yang merugikan keuangan dan
perekonomian negara. Sehingga dapat disimpulkan bahwa permohonan
pemohon tidak terbukti, tidak ada dan tidak dapat dibuktikan
kesewenang-wenangan penyidik Polri, sebagaimana kesewenang-wenangan
yang dilakukan penyidik KPK terhadap penetapan tersangka Komjen BG.
Apabila tidak ada kesewenang-wenangan penegak hukum, bagaimana mungkin
Hakim berkenan menggunakan kewenangan yang diberikan pasal 10 ayat (1)
UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan menerima
permohonan pemohon di PN Purwokerto?, sebagaimana Polri juga tidak
akan menggunakan kewenangan diskresi dengan menganjurkan pemakai
jalan melanggar rambu lalu lintas pada saat arus lalu lintas berjalan
normal tanpa gangguan?
Bahkan Hakim Sarpin secara jeli dan cermat mampu memberikan putusan
yang tepat, bahwa Komjen BG pada kasus yang diperkarakan KPK tidak
dalam posisi sebagai penegak hukum. KUHAP dalam berbagai pasal
mengatur tata cara penegakan hukum pidana oleh penegak hukum antara
lain, penyelidik, penyidik, penuntut, hakim, pemasyarakatan, termasuk
advokat. Sedangkan Pasal 12 ayat 1 UU No 2 Tahun 2002 yang
menyebutkan "Jabatan penyidik dan penyidik pembantu adalah jabatan
fungsional yang pejabatnya diangkat dengan Keputusan Kapolri" dan yang
melakukan penyelidikan (penyelidk) sesuai dengan pasal 50 Perkap No 14
Tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana adalah unsur
reskrim, unsur fungsional kepolisian lainnya dan bantuan teknis
kepolisian pada saat dibentuk tim penyelidik. Jadi, sebelum ada tim
penyelidik, polisi non penyidik mengemban tugas, fungsi dan wewenang
sebagai aparat keamanan non penegak hukum/non penyelidik, kecuali
reskrim dan petugas polantas yang diatur secara khusus dalam UU No 22
Tahun 2009. Itu artinya konstruksi KUHAP tentang penyidik/penyelidik
dengan Pasal 12 ayat 1 UU No 2 Tahun 2002 dan pasal 50 Perkap No 14
Tahun 2012 menegaskan bahwa setiap anggota Polri diberi hak oleh KUHAP
menjadi penegak hukum (penyidik/penyelidik) tetapi harus melalui
penugasan pimpinan Polri, tanpa penugasan dan penunjukan pimpinan,
anggota Polri adalah aparat keamanan non penyidik/non penegak hukum.
Jadi dengan demikian, tidak semua polisi adalah penegak hukum pada
setiap waktu/setiap saat.
Pandangan Prof. Refli Harun di sebuah acara ILC di TVOne yang
mewacanakan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap
UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
menyangkut definisi Polisi sebagai penegak hukum, mencerminkan beliau
tidak menyandarkan pandangannya pada praktek teknis kepolisian yang
sesungguhnya, dimana Polri tidakhanya mengemban fungsi penegakan
hukum, tetapi juga kamtibmas dan linyomyanmas, sehingga fungsi teknis
kepolisian dibagi menjadi Binamitra, Samapta, Lantas, Intel, Reskrim
dan bantuan teknis kepolisian lainnya untuk mengorganisasikan
pelaksanaan ketiga fungsi yang dimaksudkan pada pasal 13 UU No 2 tahun
2002. Prof. Refli Harun juga tidak menyadari bahwa berdasarkan fungsi
teknis kepolisian tersebut, konstruksi UU No 2 Tahun 2002 disusun
dengan tidak menyebutkan setiap polisi adalah penegak hukum,
sebagaimana UU tentang Kejaksaan, UU tentang Kehakiman dan UU tentang
Pemasyarakatan, termasuk UU tentang Advokat yang menyebut secara jelas
bahwa jaksa, hakim, petugas Lapas dan termasuk advokat adalah penegak
hukum karena tugasnya memang hanya pada ranah penegakan hukum, yang
sangat berbeda dengan polisi, dimana penegakan hukum hanyalah salah
satu atau sebagian dari tugas dan fungsi kepolisian untuk mewujudkan
keamanan dalam negeri, sebagaimana disebutkan dalam pertimbangan UU No
2 tahun 2002 dan pasal 5 UU No 2 Tahun 2002.
Hakim Sarpin juga menegaskan ketegarannya ketika Komisi Yudisial
berniat mengusut kemungkinan adanya pelanggaran kode etik Hakim.
Seyogyanya, Komisi Yudisial menahan diri terlibat dalam pembangunan
opini tentang putusan Hakim Sarpin, bahkan membuat opini tanpa
didasari peraturan perundang-undangan dengan mengatakan tidak
mengijinkan tafsir pada pra peradilan, padahal jelas Hakim diberikan
kewenangan pasal 5 ayat (1) dan pasal10 ayat (1) UU No 48 tahun 2009
dan Komisi Yudisial juga membuat opini yang keluar dari KUHAP dengan
menyatakan sebaiknya Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan hakim
Sarpin diterima dan diperiksa dulu karena pengadilan diwajibkan
memeriksa dan mengadili setiap perkara meskipun tidak ada hukumnya
atau hukumnya tidak jelas (Pasal 10 ayat 1 UU No 48 Tahun 2009),
padahal Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan pra peradilan
hukumnya telah jelas diatur dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
yang bersifat final dan mengikat (binding), sedangkan memeriksa dan
mengadili penetapan tersangka pada pra peradilan jelas tidak ada
hukumnya atau paling tidak hukumnya tidak jelas, sehingga memenuhi
ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Kewenangan putusan Hakim yang independen dan mandirisecara jelas
dijamin oleh UU No 48 tahun 2009 dan merupakan produk negara milik
publik yang secara etika tidak layak untuk diperdebatkan, Udex Set Lex
Laguens(hakim ialah hukum yang berbicara). Bagi yang merasa tidak
puas dengan putusan Hakim, dapat menempuh jalur hukum, bukan justru
melakukan penghujatan yang jelas-jelas mengandung unsur tindak pidana.
Hakim Sarpin memiliki hak hukum mengajukan somasi terbuka kepada
sejumlah pihak yang telah melakukan penghinaan, pencemaran nama baik
dan fitnah. Apabila tidak bersedia meminta maaf di depan umum, maka
hakim Sarpin dapat melakukan upaya hukum sebagai bentuk pembelajaran
kepada masyarakat untuk memberikan pendidikan hukum, membangun
kesadaran hukum masyarakat dan agar masyarakat tidak mudah menyebarkan
wacana menyesatkan, termasuk beberapa pihak yang sengaja membentuk dan
menggiring opini publik.
Keteguhan Hakim Sarpin dengan keyakinan pofesionalitas putusannya
seharusnya menjadi contoh baik, bagaimana hakim bekerja secara
independen dan mandiri sebagaimana dijamin UU bahkan ketika di bawah
tekanan publik dan politik yang sedemikian kuat dan besar,serta di
tengah arus besar pandangan awam bahkan dari pakar hukum dan akademisi
yang berseberangan, termasuk yang menyebut bahwa seluruh polisi adalah
penegak hukum, tanpa mendasarkan pada kekhasan praktek teknis
kepolisian dan peraturan perundang-undangan yang menaunginya.
LuckyClub Casino Site: Find The Best Casino Sites
ReplyDeleteLuckyClub Casino UK review. Find the best gambling site, review the best online luckyclub.live casinos and get their bonuses. Rating: 4 · Review by LuckyClub