Oleh: Susilo Bambang Yudhoyono
Bayangkan jika di negara kita tidak ada polisi. Di
perempatan-perempatan jalan tidak ada polisi, sehingga lalu lintas kacau balau.
Pencuri, perampok dan para penjahat leluasa melakukan kejahatannya karena tidak
ada polisi. Unjuk rasa merusak dan kerusuhan dibiarkan karena tidak ada polisi.
Kejahatan narkoba dan terorisme merajalela karena tidak ada polisi. Jutaan
orang yang mudik lebaran tidak ada yang mengamankan dan melayani, sehingga
semua ruas jalan macet dan kecelakaan terjadi di mana-mana, karena tidak ada
polisi. Dan, korupsi pun makin parah karena juga tidak ada polisi. Kalau
begitu, polisi penting. Ya, benar. Sangat penting.
Kalau begitu jasa polisi
tidak kecil. Ya, itupun benar.
Polisi juga memiliki sejarah panjang di negeri kita. Polisi
lahir, tumbuh dan berkembang seiring dengan sejarah perjuangan bangsa. Tahun
demi tahun, Polri kita makin profesional, kapabel dan efektif di dalam
melaksanakan tugas-tugasnya. Kita bangga karena Polri makin berhasil mengemban
tugas-tugas konstitusional yang diberikan kepadanya. Rakyat pun juga ikut
merasakannya.
Di era demokrasi yang sarat dengan kebebasan dan ekspresi
penggunaan hak asasi manusia ini, tugas Polri semakin berat. Di era otoritarian
dulu misalnya, untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat polisi bisa
memilih cara-cara yang dianggap paling efektif. Seolah tindakan yang represif
pun dibenarkan. Tetapi, di era sekarang ini hal itu tidak dimungkinkan.
Memang, Polri masih memiliki kelemahan, kekurangan dan
permasalahan. Sebagaimana pula kekurangan yang dimiliki oleh lembaga manapun di
negeri ini. Masyarakat juga masih melihat sejumlah perilaku dan tindakan yang
tidak baik yang dilakukan oleh sejumlah anggota Polri. Oleh karena itu, dengan
lapang dada Polri mesti menerima kritik dan koreksi ini. Artinya, Polri harus
terus melakukan pembenahan dan pembangunan diri menjadi Polri yang tangguh,
bersih, responsif, kapabel dan dedikatif di masa kini dan masa depan.
Upaya modernisasi dan pembangunan postur yang signifikan yang
dilaksanakan di tahun-tahun terakhir ini mesti disukseskan. Program seperti
penambahan 50 ribu personil dan alokasi anggaran tambahan 3 triliun rupiah (on
top dari anggaran yang sudah ada sebesar 43 triliun rupiah), diharapkan Polri
di seluruh tanah air makin siap dan makin mampu menghadapi tugas apapun. Saya
yakin, pemerintah sekarang pun akan melanjutkan modernisasi dan pembangunan
kemampuan di jajaran Polri yang tengah berlangsung dewasa ini.
Dalam perjalanan sejarahnya, Polri dan TNI, waktu itu masih
bersama-sama dalam organisasi ABRI, pernah melakukan reformasi yang fundamental
di tahun 1998, dan tahun-tahun setelah itu. Hakikatnya, Polri kembali ke fungsi
utamanya, terpisah dengan organisasi TNI, dan kemudian tidak melibatkan diri
lagi dalam "politik praktis", atau politik kekuasaan. Saya sendiri
terlibat aktif dalam menetapkan cetak biru dan agenda reformasi waktu itu, dan
kemudian ikut aktif menjalankannya. Sejak itu pula Polri, sebagaimana TNI,
benar-benar menjadi alat negara, dan bukan alat kekuasaan. Polri dan TNI
sama-sama menghormati sistem dan nilai-nilai demokrasi. Hubungan Polri dan TNI
dengan politik (baca Presiden) juga ditata sesuai dengan norma dan nilai
demokrasi, segaris dengan konstitusi negara. Polri dan TNI tidak dibenarkan
masuk dalam domain "politik", sementara pimpinan politik juga tidak
boleh masuk dalam domain "tatanan & aturan" yang berlaku di
jajaran Polri dan TNI. Masing-masing berpedoman kepada tugas, tanggung jawab
dan wewenangnya.
Saat ini Polri kembali menghadapi kemelut menyangkut posisi
kepemimpinan puncak di organisasi ini. Empat belas tahun yang lalu, terjadi
pula kemelut dengan apa yang disebut sebagai "Kapolri kembar". Kini
krisis semacam itu terjadi lagi, meskipun tidak sama persis. Kita berharap
situasi yang sangat mengganggu keutuhan dan kekompakan Polri ini segera bisa
diatasi, sehingga Polri segera bisa berfungsi secara normal dan tetap dapat
melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Kita perlu memberikan dukungan yang
penuh baik kepada Presiden maupun pimpinan Polri untuk mengatasi permasalahan
ini, agar kemelutnya tidak berlarut-larut.
Sebenarnya penggantian pimpinan Polri, dan juga TNI, adalah
bukan sesuatu yang luar biasa. Undang-Undang dan perangkat peraturan yang
berlaku telah mengaturnya. Khusus untuk Kapolri dan Panglima TNI, setelah
Presiden memutuskan siapa calonnya, selanjutnya calon itu dimintakan
persetujuannya kepada DPR RI. Penunjukan siapa yang menjadi calon Kapolri dan
Panglima TNI adalah menjadi prerogatif Presiden. Sungguhpun demikian, Presiden
tidak asal tunjuk dan putuskan, tetapi melalui norma dan aturan yang lazim
berlaku. Sebagai contoh untuk calon Kapolri, Kapolri (incumbent) mengajukan
sejumlah nama kepada Presiden yang dianggap layak dan memenuhi syarat menjadi
Kapolri. Undang-Undang juga memintakan Kompolnas untuk memberikan pertimbangan
kepada Presiden. Di situ Presiden bisa memutuskan. Bisa saja Presiden tidak
meminta saran dan masukan dari Kapolri, tetapi pertimbangan dari Kompolnas
tetap dipersyaratkan.
Presiden Jokowi memiliki kewenangan dan caranya sendiri untuk
menunjuk calon Kapolri. Cara apapun yang dipilih tidak bisa disalahkan,
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku. Ketika dulu
saya mengemban tugas sebagai Presiden, yang dalam waktu 10 tahun telah empat
kali mengangkat Kapolri, saya menetapkan cara dan mekanisme yang saya tempuh.
Dalam keadaan normal, pertama-tama saya meminta saran dan masukan dari Kapolri
terlebih dahulu, siapa-siapa yang sesuai dengan jabatan dan kepangkatan serta
integritas dan kapasitasnya, layak untuk dicalonkan sebagai Kapolri.
Selanjutnya saya meminta pertimbangan Kompolnas. Ketika tahun-tahun terakhir
ini KPK makin intensif untuk memantau pejabat-pejabat negara, termasuk
kepolisian, yang diduga bersentuhan dengan wilayah hukum, saya mintakan pula
secara resmi informasi dan keterangan yang terkait dengan pencalonan Kapolri
ini. Masukan dari KPK kepada Presiden tersebut, yang disampaikan secara lengkap
dan resmi, sungguh saya perhatikan. Namun, saya memilih untuk tidak membawanya
ke arena publik. Saya memandang hal ini bagian dari manajemen pemerintahan, dan
bukan politik. Setelah itu, saya pimpin rapat yang dihadiri Wakil Presiden,
Menko Polhukam sekaligus dalam kapasitasnya sebagai Ketua Kompolnas, Kapolri,
Kabin, Mensesneg dan Seskab. Di situ saya sampaikan siapa saja yang layak untuk
menjadi Kapolri baru. Setelah semua memberikan masukan dan tanggapan, saya
ambil keputusan saya. Resmi dan mengikat. Setelah itu secara resmi pula saya
kirimkan ke pimpinan DPR untuk mendapatkan persetujuan DPR RI.
Agar tidak ada komplikasi politik apapun, dan agar keputusan
yang saya ambil benar-benar obyektif, saya tidak melibatkan pihak manapun dalam
pengambilan keputusan saya, kecuali para pejabat fungsional tadi. Yang tidak
kalah pentingnya adalah juga penguasaan yang utuh dan kepatuhan terhadap
Undang-Undang yang berlaku, yang dalam hal ini terkait dengan aturan dan
tata-cara pemberhentian dan pengangkatan Kapolri sesuai Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002.
Di tengah-tengah situasi politik yang menghangat saat ini saya
juga mendengar sejumlah isu, mungkin juga "provokasi", yang bisa
memecah belah diantara kita semua. Termasuk antara Presiden Jokowi dengan saya.
Diisukan bahwa yang tengah dilakukan sekarang ini adalah pembersihan
"orang-orang SBY", baik di jajaran TNI, Polri maupun aparatur
Pemerintahan. Saya terhenyak. Karena kalau yang dianggap orang-orang SBY itu
adalah yang ada dalam jajaran Kabinet Indonesia Bersatu, yang sesungguhnya
adalah posisi politik (political appointee), hal itu masih masuk akal. Tetapi,
kalau para perwira TNI dan Polri profesional, atau para eselon satu jajaran
pemerintahan yang statusnya adalah abdi negara itu diistilahkan sebagai "orang-orang
SBY", menjadi tidak masuk akal. Jika setiap pejabat tinggi yang bertugas
di era SBY harus segera diganti alias dibersihkan, karena dianggap sebagai
orang-orang SBY alangkah malangnya mereka. Apa salah dan dosa mereka?
Pengangkatan para pejabat di jajaran TNI & Polri ada mekanismenya.
Pengangkatan eselon satu juga demikian. Tidak pernah saya menunjuk nama bagi
posisi-posisi Sekjen, Irjen, Dirjen, Kepala Lembaga Pemerintahan Non
Kementerian, dan para Pimpinan BUMN. Mereka semua diusulkan oleh para atasannya,
bisa Menteri, Panglima TNI atau Kapolri. Kemudian khusus eselon satu
kementerian dan LPNK dibahas oleh Tim Penilai Akhir yang dipimpin oleh Wakil
Presiden. Setelah dilakukan pembahasan dan penilaian yang cermat, dilaporkan
kepada Presiden untuk mendapatkan persetujuan. Selama ini, 95 % saya setujui.
Yang 5 %, sering saya minta dibahas kembali jika ada informasi yang negatif.
Setelah jelas segala sesuatunya, segera saya putuskan. Sebagian lolos, sebagian
mesti dilakukan penggantian. Itulah sistem dan aturan yang dulu saya anut dan
jalankan ~ transparan dan akuntabel.
Saya tidak yakin Presiden Jokowi punya pikiran dan kehendak
untuk melakukan pembersihan semacam itu. Kalau hal itu terjadi, bagaimana pula
nanti jika Presiden baru pengganti Pak Jokowi juga melakukan
"pembersihan" yang sama. Namun, Presiden Jokowi memiliki kewenangan
penuh untuk mengangkat dan memberhentikan seseorang sesuai dengan urgensi dan
kebutuhannya. Beliau yang akan menggunakan. Beliau tentu ingin sukses memimpin
kita semua 5 tahun mendatang ini. Tentu semuanya dilakukan sesuai dengan norma,
aturan dan etika yang berlaku.
Ada pula pengamat yang mengatakan kemelut di tubuh Polri ini
tidak terlepas dari perseteruan antara Ibu Megawati dengan SBY. Jenderal Polisi
Sutarman dipersepsikan sebagai orangnya SBY, dan Komjen Polisi Budi Gunawan
sebagai orangnya Ibu Megawati. Untuk diingat, kalau Pak Budi Gunawan dinilai
dekat dengan Ibu Megawati karena mantan ADC-nya, maka Pak Sutarman adalah
mantan ADC Gus Dur. Bukan mantan ADC SBY. Di era saya, perjalanan karier Komjen
Polisi Budi Gunawan juga baik dan lancar. Pak Budi Gunawan mengalami tiga kali
promosi jabatan, serta kenaikan pangkat dari Brigjen ke Irjen, dan kemudian ke
Komjen.
Menutup tulisan singkat dan sederhana ini, dilandasi oleh rasa
cinta kepada negara dan Polri, marilah sungguh kita dengarkan harapan
saudara-saudara kita rakyat Indonesia. Mereka berharap Polrinya tetap kompak,
dan bisa mengabdi penuh untuk negara dan mereka semua. Melindungi masyarakat,
memerangi penjahat. Mereka sedih jika Polrinya pecah dan terkoyak.
Sementara itu rakyat juga berharap agar para politisi dan
siapapun tidak melakukan sesuatu yang membuat Polri kita menjadi tidak kompak
dan tidak utuh. Kita berharap semua pihak menjadi bagian dari solusi. Mari kita
bantu Presiden Jokowi dan “Pelaksana Tugas” Kapolri untuk mengemban tugas yang
penting ini.
Cikeas, 18 Januari 2015
No comments:
Post a Comment